Gusdi20 - Menginjak hampir tiga bulan saya di Jepang, pelan-pelan saya mulai
mengenali kebiasaan-kebiasaan orang sini. Meskipun pada awalnya
kebiasaan itu dirasa cukup “bertentangan” dengan kebiasaan orang
Indonesia kebanyakan, tapi akhirnya saya memakluminya juga. Dimana bumi
dipijak, disitu langit dijunjung. Bagaimanapun juga, saya harus bisa
memahami kebiasaan-kebiasaan mereka. Sampai sejauh ini, ada beberapa
kebiasaan orang Jepang yang menurut rizaldp.wordpress.com menarik untuk diketahui.
1. Mempertahankan bahasa lokal
Ada yang menarik dari kebiasaan ini. Konon, kabarnya orang Jepang
memiliki kemampuan bahasa Inggris yang buruk, jadi mereka kerap
berbicara dengan bahasa Jepang, sekalipun itu terhadap orang asing.
Pernah pada suatu waktu, meskipun mereka tahu bahwa saya orang asing,
mereka tetap menggunakan bahasa Jepang ketika memulai percakapan.
Alhasil, saya hanya bisa bengong-bengong saja. Ketika saya bilang tidak
mengerti, mereka tetap mencoba meyakinkan, dengan tetap menggunakan
bahasa Jepang.
Begitu juga ketika di supermarket dan tempat-tempat umum lainnya.
Setiap kali orang Jepang bertanya dan berkomunikasi, seringkali mereka
menggunakan bahasa Jepang. Apa mereka tidak tahu bahwa saya ini orang
asing? Bahwa bahasa Jepang bukanlah bahasa Ibu saya. Jadi, meskipun
kepada orang asing, orang Jepang kebanyakan tetap menggunakan bahasa
lokal mereka.
Menurut yang saya amati, orang Indonesia beda lagi. Meskipun kurang
paham bahasa Inggris, tapi orang Indo tetap berusaha berbicara bahasa
Inggris kepada orang asing, meskipun itu terbata-bata. Saya teringat
ketika di Bromo dulu, pernah ada supir Elf yang berani berbicara bahasa
Inggris kepada turis. Setidaknya, kita bisa menghargai bahasa yang
mereka pergunakan. Ini menandakan bahwa orang Indonesia sangat terbuka
kepada orang asing.
Selama saya kuliah disini, saya juga intensif mengikuti kursus bahasa
Jepang (fasilitas kampus). Saya sempat berpikir bahwa setiap orang
asing (status sebagai student, entah jika statusnya lain) yang masuk
Jepang, rata-rata diajarkan bahasa Jepang. Jadi, orang asing tersebut
seperti di-”naturalisasi” dan harus bisa berbahasa Jepang. Sedangkan di
Indo, saya tidak tahu apakah setiap mahasiswa asing diberi fasilitas
juga untuk belajar bahasa Indonesia? Atau, orang Indo yang katanya
sangat ramah, jadi biarlah yang berlelah-lelah belajar bahasa Inggris?
2. Santun
Benarkah orang Indonesia itu santun-santun? Saya sangsi karena saya
tidak diberi jalan saat akan menyeberang, saya ragu karena ketika
jalanan macet tidak ada yang mau mengalah. Tapi, selama di Jepang, saya
benar-benar merasakan kesantunan itu. Menyeberang jalan dengan rasa aman
karena tahu mobil tidak akan mendahului sepeda. Mobil tidak akan
mendahului sepeda motor, sepeda motor mengalah pada pesepeda, dan
pesepeda takluk pada pejalan kaki. Ya, pejalan kaki adalah raja jalanan!
Saya pernah ketika akan menyebrang, ada mobil yang menunggu di depan
saya. Tak tahunya, ternyata dia menunggu saya menyeberang terlebih dulu.
Tapi, karena sedang menunggu, saya persilakan mobil itu untuk lewat
duluan. Dan … orang dalam mobil itu langsung memanggutkan kepalanya
tanda sangat berterimakasih. Luar biasa kesantunan yang saya rasakan.
Bahkan, ketika saya lewat di depan orang yang sedang mencabut rumput,
orang itu mengucapkan maaf setelah saya bilang permisi. Mungkin dia
merasa telah menghalangi jalan orang lain. Entahlah, yang saya dengar
hanyalah omelan ketika ini saya lakukan di Indonesia.
Di sini, membunyikan klakson adalah pertanda bahaya. Klakson hanya
dibunyikan pada saat-saat genting, di luar itu tidak boleh membunyikan
klakson. Makanya, suasana jalanan tidak berisik.
3. Gemar olahraga
Ini juga membuat saya salut. Betapa tidak, saat pulang dari kampus
sekitar jam 19.30 JST, saya berpapasan dengan orang Jepang yang sedang
jogging. Padahal, cuaca saat itu sedang dingin dan saya pikir paling
enak kalau diam di rumah. Dan, sebagai orang Indo, tentu saja saya
merasa “aneh” dengan kebiasaan olahraga malam-malam ini. Masih mending
jika olahraga futsal atau yang dilakukan secara tim. Tapi, kalau
dilakukan sendirian dan malam-malam, rasanya “aneh”. Dan ini merupakan
kebiasaan orang Jepang yang harus saya maklumi.
Dan kemana-mana, cukup banyak juga mahasiswa Jepang yang suka memakai
celana training. Entahlah, apa dia sehabis olahraga atau tidak. Bahkan,
ketika di kelas pun, ada saja yang memakai celana training. Entah
apakah ada hubungan antara celana training mereka dan olahraga. Memang
orang Jepang tidak suka jika tidak bergerak. Bahkan, orang tua pun gemar
berolahraga. Saya sering melihat para orang tua yang suka mengajak
jalan-jalan anjing mereka ke taman-taman. Maka, jangan heran jika kita
bertanya kepada mereka siapa saja anggota keluarganya, mereka akan
menghitung anjing-anjing mereka.
Dan fakta menarik, olahraga yang paling beken di Jepang adalah
baseball. Itulah mengapa, jika di kartun-kartun, olahraga yang sering
dijadikan figuran adalah baseball. Masih ingat tayangan Doraemon? masih
ingat ketika Giant selalu mengajak main baseball kepada Nobita dan
Suneo? Dan bagi orang Indonesia, baseball bukanlah hal yang umum. Orang
Indonesia lebih familiar dengan sepakbola dan badminton, benar?
Mensana in corpore sano. Di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa
yang kuat. Mungkin bangsa Jepang menjadi disegani karena mereka memiliki
ketangguhan SDM-nya. Dan jangan kita remehkan, olahraga bisa menjadi
titik awal. Bukankah Rasulullah saw juga telah bersabda bahwa muslim
yang kuat lebih dicintai daripada muslim yang lemah? Dan Rasulullah saw
telah mengajarkan kita berolahraga dengan memanah, berenang, dan
menunggang kuda? Jepang bukanlah negara muslim, tapi mereka paham betul
akan kesehatan jasmani ini.
4. Tidak suka basah
Tidak suka basah dalam artian ketika sedang di kamar kecil. Setiap kamar
kecil sepertinya sudah memiliki grand-design nya. Didesain dengan
konsep kering dan serba otomatis. Tentu ini menyulitkan saya yang lebih
terbiasa dengan toilet basah seperti di Indonesia. Dan ini juga
menyulitkan bagi yang muslim, karena kita harus ber-istinja (bersuci,
membasuh) dengan air. Bahkan, salah seorang sensei menanyakan apakah ada
toilet kering ketika akan ke Indonesia. Mengingat kebanyakan toilet di
Indonesia sifatnya basah.
Jadi, akan sangat sulit jika kita meniatkan untuk mandi di kampus,
karena toilet di tempat umum tidak didesain untuk mandi. Bagaimana bisa
mandi, lantai basah sedikit saja langsung dikeringkan oleh janitor.
Untuk berwudhu, kami biasa berwudhu dari wastafel jika sedang di kampus.
Dan jika lantai sampai basah, cepat-cepat kami keringkan. Namun,
syukurlah, lama-kelamaan kami sudah mulai terbiasa.
5. Makan banyak tapi tetap langsing
Selama saya di Jepang, saya jaraaaaang sekali melihat orang Jepang yang
gemuk. Rata-rata berbadan kurus dan proporsional. Malah menurut saya,
lebih banyak yang kurus. Mungkin ada hubungannya dengan kebiasaan gemar
olahraga di atas. Paling banter berbadan gempal, itupun bisa dihitung
dengan jari.
Padahal, ketika teman saya sedang party lab-nya, dia hanya bisa makan
sampai 10 tumpuk piring sushi (1 piring 2 sushi). Sedangkan teman
Jepangnya, malah sampai habis 30 piring. Tapi, anehnya badannya tetap
saja kurus. Saya tidak tahu, mungkin karena memang makanan orang Jepang
kebanyakan mengandung protein. Atau juga mungkin karena metabolisme
orang Jepang lebih baik ketimbang orang Indonesia yang sekali makan,
berat badannya langsung cepat naik. Mungkin juga masalah gaya hidup?
6. Tidak biasa bersalaman
Awal-awal berkenalan dengan orang Jepang, saya selalu membawa kebiasaan
saya sewaktu di Indonesia, yaitu menyodorkan tangan sebagai tanda
membuka perkenalan (khusus sesama jenis). Tapi, ternyata sodoran tangan
saya dibalas dengan anggukan kepala dan bungkukan badan. Kontan, saya
pun mengikuti gerakan lawan bicara saya tersebut, dan akhirnya tidak
jadi salaman.
Secara umum, perkenalan biasanya selalu diiringi dengan salaman.
Tapi, di Jepang lain lagi, kita tidak perlu menyodorkan tangan. Yang
kita perlukan hanya menyebutkan nama, kemudian membungukukkan badan
sembari mengucapkan yoroshiku onegai shimasu. Kebiasaan orang Jepang yang satu ini sangat menguntungkan umat muslim, terlebih lagi saat berhadapan dengan orang yang bukan mahrom (boleh dinikahi).
Kalau kita di Indonesia, ketika akan salaman dengan orang yang bukan mahrom,
biasanya kita akan merapatkan telapak tangan kita dan memposisikannya
di depan dada. Dengan begitu, lawan bicara kita akan mengerti. Namun,
jika kita berhadapan dengan orang asing yang belum tahu, kita akan
kesulitan untuk menjelaskan. Dan kemungkinan akan terjadi
kesalah-pahaman jika tidak ada komunikasi yang baik. Biasanya, lawan
bicara kita akan menyodorkan tangan, lalu kita balas dengan salam “ala lebaran”.
Untuk ucapan terimakasih pun, orang Jepang tidak biasa bersalaman.
Biasanya mereka akan membungkukkan badan, atau minimal menganggukkan
kepala. Ukuran besar-kecilnya rasa terimakasih orang Jepang bisa kita
lihat dari bungkukan badannya. Semakin membungkuk tandanya ia sangat
berterimakasih. Anggukan kepala biasanya untuk ucapan terimakasih biasa.
Bedanya dengan orang Indonesia, kalau kita merasa berterimakasih,
kita akan menyalami lawan bicara kita dengan kedua tangan. Dan kemudian
biasanya langsung memeluk lawan bicara. Tapi, sekali lagi, di Jepang
lain lagi ceritanya. Jadi, sebagai pendatang, kita mau-tidak mau akan
mengikuti kebiasaan mereka, meskipun hal tersebut dianggap kecil.
7. Budaya mengantri
Jangan sampai kebiasaan buruk kita di Indonesia terbawa sampai ke
Jepang, yaitu budaya menerabas! Orang-orang Jepang sangat loyal terhadap
peraturan dan santun kepada orang lain, termasuk untuk urusan
mengantri. Antri sudah menjadi budaya disiplinnya orang-orang Jepang.
Kita (pendatang) sudah harus ngeh dengan budaya antri mereka, jangan sampai kita membuat malu di negeri orang.
Beda kota, bisa berbeda juga budaya yang dianut masyarakatnya. Di
Osaka, jika sedang menggunakan eskalator, sebaiknya gunakan sisi sebelah
kanan bagi yang tidak terburu-buru dan mempersilakan sisi kiri bagi
mereka yang ingin bergegas. Sedangkan di Tokyo (dan sebagian kota lain),
jalur lambat ada di sebelah kiri dan jalur bergegas di sebelah kanan.
Hati-hati, jangan sampai kita menghalangi jalan orang lain. Orang Jepang
sendiri terlihat begitu menyesali diri jika mereka sampai menghalangi
jalan orang lain.
Cerita lain lagi, dalam suatu perjalanan, pernah saya terjebak dalam
kemacetan yang panjang. Saya pun heran, baru kali itu saya merasakan
macet sedemikian panjangnya. Saya kira di Jepang bebas macet, kemudian
saya tahu bahwa ada kecelakaan yang menjadi penyebab kemacetan itu.
Tapi, betapa elegan-nya orang-orang Jepang dalam berlalu-lintas. Ya,
mereka tetap berada dalam antrian kendaraan yang seharusnya.
Benar-benar membuat saya kagum. Betapa tidak, saya bisa membayangkan
suasana kemacetan di Indonesia yang bising dengan suara klakson; antar
pengemudi tidak ada yang mau saling mengalah; dan perilaku mental
menerabas lainnya. Tapi, lihatlah foto di atas, sama sekali tidak ada
yang menerabas dari sisi kiri; dan juga tidak ada kebisingan klakson.
Benar-benar patut kita teladani.
8. Jari-jari huruf “V” saat dipotret
Coba Anda minta foto bersama orang Jepang, atau menyuruh mereka bergaya
saat akan dipotret. Hampir selalu jari-jari mereka langsung bergaya “V”
sambil menyunggingkan senyum terbaik. Saya, orang Indonesia, jadi
ikut-ikutan bergaya seperti orang Jepang saat dipotret, hehe. Maklum,
terkontaminasi budaya lokal.
Tentu kita dapat dengan mudah menebak apa maksud dari jari-jari
mereka. Ya, itu perlambang “peace” – kedamaian. Tapi, bagi orang Jepang
sendiri, jari-jari “V” adalah perlambang kebahagiaan. Jadi, jika mereka
menggunakan gaya tersebut saat dipotret, itu artinya mereka ingin
menunjukkan kebahagiaannya. Bukan berarti bagi yang tidak itu tidak
bahagia, hehe..
9. Risih duduk bersebelahan
Kebiasaan ini sebenarnya saya tahu dari sensei nihonggo. Memang, sensei
saya yang satu ini sesekali suka bercerita tentang Jepang dan
rupa-rupinya. Mulai dari agama yang dianut, berbelanja, tempat-tempat di
Jepang, sampai kebiasaan orang Jepang sehari-hari. Waktu sensei saya
bertanya, sebagai orang Indonesia, bagaimana posisi duduk yang lazim
jika sedang mengobrol bersama teman.
Bagi saya, saya lebih nyaman untuk duduk bersebelahan dengan teman
saya ketika ngobrol. Saya merasa lebih bebas dan tidak canggung. Karena
dengan begitu, kita bisa menjadi lebih santai. Justru saya merasa risih
jika duduk berhadap-hadapan. Entah kenapa, rasanya risih saja, karena
dengan posisi tersebut, mata kita dipaksa untuk terus beradu pandang.
Tapi, kebiasaan orang Jepang lain lagi. Justru mereka risih jika
duduk bersebelahan. Mereka lebih memilih duduk berhadap-hadapan. Jika
sedang ke kantin, restoran, atau perpustakaan, saya memang tidak melihat
orang Jepang yang duduk bersebelahan. Semuanya duduk berhadap-hadapan.
Jikapun ada orang yang duduk disampingnya, bisa jadi karena keterbatasan
kursi atau memang harus duduk dengan posisi seperti itu (seperti di
bis, kereta).
Jadi, jangan heran jika di restoran, kantin, atau perpustakaan, orang
Jepang rata-rata duduk berhadap-hadapan. Pernah suatu saat, saya
meminta teman Jepang saya untuk latihan percakapan bahasa Jepang.
Kemudian, kami mencari-cari tempat yang pas hingga akhirnya kami
menemukan dua bangku panjang yang berhadap-hadapan. Sebagai orang Indo,
saya tentu terbiasa untuk duduk bersebelahan. Tapi, pada saat saya akan
duduk di samping teman saya itu, saya malah diminta untuk duduk di
hadapannya. Dia langsung mempersilakan saya sembari menunjuk kursinya.
Dan saat itu, saya langsung ingat tentang cerita sensei nihonggo saya
bahwa orang Jepang lebih terbiasa duduk berhadap-hadapan ketimbangan
bersebelahan, strange katanya.
Sumber
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya. Jangan lupa follow twitter Kami @gusdi20. Oke?